KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN MAKNA DARI PUISI
MAMARAKI RAJA SAHARI
KARYA ABDURRAHMAN EL HUSAINI


Mamaraki Raja Sahari

Batimpungas lawan ambun baisukan
Pipi kakambangan habang anum
Asa limbah diambung
Hilangan sagala miang gatalan diawak
Nangkaya mambuang kalimpanan
Batimung lawan rarampah raragi urang tuha bahari
Ma ambun ma uwap
Tapaluh le’er marasai urutannya
Isuk ari kamarian babarasih awak
Mamaraki raja sahari

Smun 1 martapura, 12/04/05

Puisi Mamaraki Raja Sahari merupakan puisi berbahasa Banjar yang dikarang oleh Abdurrahman El Husaini. Puisi tersebut termuat dalam antologi puisinya yang berjudul Doa Banyu Mata Kumpulan Puisi Bahasa Banjar yang terdapat pada halaman 13. Seluruh puisi yang terdapat dalam antologi tersebut merupakan karangan Abdurrahman El Husaini sendiri, yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh Tahura Media Banjarmasin.

Puisi Mamaraki Raja Sahari menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan pada masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Di dalam puisi ini juga, Abdurrahman El Husaini memuat tentang bagaimana tradisi yang harus dijalankan oleh calon pengantin, khususnya bagi calon pengantin wanita dalam mempersiapkan dirinya sebelum melangsungkan pernikahan. Salah satu tradisi yang disebutkan yaitu tradisi Batimung.

Kata-kata yang tertulis dalam puisi ini sarat dengan simbol-simbol yang memiliki makna, di balik simbol tersebut ada makna yang tersirat yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai hal-hal yang menarik  dalam puisi Mamaraki Raja Sahari ini, berikut di bawah ini dipaparkan hasil analisis kemungkinan-kemungkinan makna dari puisi Mamaraki Raja Sahari.
Dari segi judul saja puisi ini sudah terdapat hal yang menarik yang bisa dimaknai yaitu penggunaan ungkapan Raja Sahari dalam kalimat Mamaraki Raja Sahari. Apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia Raja Sahari berarti Raja Sehari. Baik Raja Sahari maupun Raja Sehari apabila dimaknai secara leksikal berarti jabatan seorang raja/pemimpin laki-laki dalam kerajaan yang hanya berlangsung selama satu hari saja. Namun, dalam konteks puisi ini maknanya tidak demikian, raja yang dimaksudkan dalam puisi ini bukanlah makna raja yang sebenarnya yang berarti seorang pemimpin. Melainkan bermakna pengantin/mempelai (kartikahidayati.blogspot.com), sesuai dengan konteks cerita dalam puisi tersebut yang menceritakan perihal pernikahan.

Mengapa penyebutan pengantin dalam puisi ini menggunakan ungkapan Raja Sahari? mengapa tidak langsung disebutkan pengantin saja? Sekiranya penggunaan ungkapan Raja Sahari ini dibentuk secara metaforis, yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna kata raja dengan yang ada pada ungkapan Raja Sahari (Chaer, 2009:61). Salah satu dari ciri raja yang dipersamakan atau diperbandingkan tersebut adalah kebiasaan-kebiasaan yang identik dengan seorang raja seperti duduk di singgasana, memakai pakaian yang indah, dilayani atau tidak repot mengurus dirinya karena orang lain yang mengerjakan. Begitu pula dengan pengantin, ia duduk di pelaminan yang diibaratkan sebagai singgasana, menggunakan pakaian yang indah. Dalam pernikahan masyarakat di kota Cilacap, pengantin yang dianggap sebagai raja sehari maknanya sebagai pengharapan kelak dapat memimpin dan membina keluarga dengan baik (muhammadnaji.blogspot.com). Penggunaan ungkapan Raja Sahari memberikan kesan dan efek keindahan ketika membaca dan memaknai puisi tersebut. Akan sangat terasa biasa maknanya seandainya judul puisi tersebut berbunyi Mamaraki Pangantin.

Pada kalimat Batimpungas lawan ambun baisukan, terdapat hal yang menarik yang diungkapkan oleh kalimat tersebut, khususnya pada bagian kata batimpungas dan ambun. Apakah memang benar dalam hal batimpungas yang digunakan adalah ambun? Apa makna yang tersirat dari keterkaitan antara kedua kata tersebut?

Kata batimpungas berasal dari kata timpungas. Timpungas berarti ‘cuci muka’ (Hapip, Abdul Djebar, 2008:189). Kata batimpungas di depannya terdapat prefiks ba-, makna dari prefiks ba- tergantung pada konteks kata dasar yang mengikutinya. Kata dasar dari batimpungas yaitu timpungas dan merupakan bentuk kata kerja. Untuk prefiks ba- pada kata batimpungas maknanya ‘melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan dengan sengaja atau pekerjaan pada diri sendiri (Hapip, Abdul Djebar, 2008:38). Prefiks ba- dalam bahasa Banjar mirip dengan prefiks ber- dalam bahasa Indonesia, yaitu menyatakan makna ‘suatu perbuatan aktif’ ialah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang menduduki fungsi subyek. Makna  ini pada umumnya terdapat pada kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa pokok kata dan kata kerja (Ramlan, 1987:114). Jadi, makna dari kata batimpungas artinya bercuci muka atau melakukan pekerjaan cuci muka. Mencuci muka pada dasarnya membersihkan wajah dari kotoran, debu, maupun menyegarkan wajah yang berkerut karena bangun tidur atau amarah/emosi.

Kata kedua dari kalimat batimpungas lawan ambun baisukan yang menarik untuk ditelisik maknanya adalah kata ambun. Ambun dalam bahasa Indonesia berarti embun. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, embun merupakan titik-titik air yang jatuh dari udara (pada malam hari). Secara umum, embun adalah nama yang diberikan untuk bintik-bintik air yang sering dijumpai menempel pada daun-daunan, dan rumput.

Pada dasarnya keterkaitan batimpungas lawan ambun baisukan atau mencuci muka dengan embun pagi, apabila dimaknai secara leksikal akan menghasilkan makna yang kurang logis. Hampir tidak pernah ditemukan seseorang mencuci mukanya menggunakan embun secara langsung, karena yang kita ketahui embun hanya sebatas uap air. Sedangkan, perihal mencuci biasanya selalu menggunakan air sebagai media pembersihannya. Bisa dimaknai secara logis apabila penggunaan embun tidak dilakukan secara langsung, misalnya saja dengan mengumpulkan atau menampung embun tersebut hingga terkumpul menjadi air dan bisa digunakan untuk mencuci muka. Pemilihan kata batimpungas dan ambun dalam konteks ini memiliki makna yang tersirat dan keterpaduan. Pemilihan kata batimpungas dan ambun sama-sama melambangkan tentang kesejukan, kenyamanan. Tentunya setelah mencuci muka akan merasakan sejuk pada wajah, begitu juga dengan embun. Baisukan dalam bahasa Indonesianya berarti pagi, pagi merupakan waktu mulai matahari terbit sampai kira-kira pukul sembilan atau sepuluh. Kata baisukan pada puisi ini dimaknai sebagai simbol awal manusia untuk memulai harinya. Jadi, pemaknaan terhadap kalimat atau larik puisi yang berbunyi batimpungas lawan ambun baisukan dalam konteks ini menyampaikan tentang kesejukan atau perasaan sejuk dan kebahagiaan yang diperoleh untuk memulai hari yang baru. Kebahagian yang dimaksud dikarenakan perihal akan segera menikah.

Hal menarik berikutnya adalah keterkaitan antara larik batimpungas lawan ambun baisukan tadi dengan larik berikutnya yang berbunyi pipi kakambangan habang anum. Larik yang berbunyi pipi kakambangan habang anum muncul sebagai akibat dari larik sebelumnya yang maknanya menyatakan rasa bahagia yang sedang dirasakan. Satu kata yang juga menarik untuk dimaknai dari larik tersebut khususnya penggunaan kata Kakambangan.

Kata kakambangan kata dasarnya berbentuk kata benda yaitu kambang, kambang berarti kembang atau bunga (Hapip, Abdul Djebar, 2008:78). Secara morfologi bentuk dari kata kakambangan ini berupa bentuk kata ulang (reduplikasi). Pengulangannya terbentuk dari proses afiksasi, pengulangan kata tersebut berdasarkan pada suku kata pertama dari bentuk dasarnya (Hapip, Abdul Djebar, 2008:xviii) yaitu ka- yang disertai dengan akhiran –an seperti berikut ka-kambang-an. Makna dari reduplikasi kakambangan menyatakan tentang ‘menyerupai kembang/bunga’. Jadi, apabila dikaitkan dengan konteks kalimat pipi kakambangan habang anum, kakambangan yang dimaksud bukanlah menyatakan bentuk pipi menyerupai bunga, melainkan sebagai sebuah simbol yang menyatakan keindahan, karena bunga identik dengan keindahan. Begitupun dengan makna dari kata habang anum yang berarti merah muda yang menyimbolkan tentang cinta, kelembutan, ataupun perasaan yang indah dan bahagia. Jadi, makna dari pipi kakambangan habang anum ini pipinya merona merah muda yang diakibatkan rasa bahagia yang dirasakannya. Diwajahnya terpancar keindahan yang diibaratkan bagai bunga yang merona. Perasaan bahagia tersebut diibaratkannya pula seperti perasaan seseorang yang setelah memperoleh pujian dari orang lain sebagaimana larik asa limbah diambung (asa berarti rasa;perasaan;serasa, limbah berarti setelah;sesudah, diambung berarti dipuji).

Terdapat keterkaitan antara makna yang diungkapkan dalam kalimat hilangan sagala miang gatalan diawak dengan kata batimpungas. Namun sayangnya keterkaitan tersebut secara kebahasaan tidaklah logis. Hilangan sagala miang gatalan diawak apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘hilang semua gatal diseluruh badan’. Dikatakan tidak logis karena secara logika saja apakah mungkin dengan hanya batimpungas atau mencuci muka maka semua gatal di badan hilang? Sedangkan mencuci muka tersebut hanya terfokus pada bagian wajah atau bagian depan kepala saja tidak pada seluruh tubuh.

Kata yang lebih menonjol dari kalimat tersebut adalah kata miang. Menarik memang, karena kalau diartikan berdasarkan kamus bahasa Banjar makna dari miang itu sendiri adalah bulu (pada bambu, daun-daun, tsb); rasa gatal (Hapip, Abdul Djebar, 2008:120) atau rasa gatal yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak tampak, seperti disebabkan oleh hama atau sejenisnya. Sedangkan pada masa sekarang kata miang telah bergeser pemaknaan dan maksudnya. Ungkapan dengan kata miang ditujukan kepada seseorang yang sedang merasakan libido atau hasrat nafsu seksualnya meningkat (Inggris; horny). Misalnya "ikam nih miang banar pinanya." Maksudnya "kamu tampaknya sedang horny." (kompasiana.com). Dalam konteks puisi ini karena berhubungan dengan seseorang yang akan segera menikah, maka ungkapan hilangan sagala miang gatalan diawak maknanya menyatakan bahwa masa-masa dan segala macam perilaku seperti saat-saat masih sendiri atau remaja akan segera hilang, tidak akan seperti dahulu lagi karena akan segera melangkah ke kehidupan yang baru yaitu dengan menikah. Miang gatalan disimbolkan sebagai perilaku saat masih sendiri atau remaja.

Dalam puisi ini juga pada larik kelima diselipkan sebuah peribahasa Banjar yang tidaklah asing di telinga kita, yang berbunyi Nangkaya mambuang kalimpanan. Nangkaya dalam bahasa Indonesia berarti seperti;sama halnya dengan. Kata mambuang berarti membuang yang bermakna melepaskan;menghilangkan. Dan kata kalimpanan berarti kelilipan yang maksudnya ada sesuatu seperti debu yang masuk ke dalam mata (Hapip, Abdul Djebar, 2008:77) Secara keseluruhan nangkaya mambuang  kalimpanan dalam bahasa Indonesia berarti seperti menghilangkan kelilipan atau suatu benda yang masuk ke dalam mata.

Dalam bukunya yang berjudul Kamus Peribahasa Banjar, 2007. Tajuddin Noor Ganie mengatakan bahwa makna dari peribahasa kaya mambuang kalimpanan adalah sebagai olok-olokan dalam hal pekerjaan yang begitu mudah dikerjakan tidak dikerjakannya dengan mudah. Berdasarkan hasil diskusi dengan beliau di akun facebook, mengapa peribahasa tersebut dinyatakan sebagai olok-olokan disebabkan oleh konteks peribahasa itu  adalah ada seseorang yang sangat menyebalkan. Pekerjaan yang begitu mudah tidak dikerjakannya dengan mudah. Sebaliknya ia mendramatisasi keadaan dengan mengeluh ke sana ke mari. Lalu ada orang lain yang ganti mengerjakan pekerjaan itu dan ternyata memang bisa dikerjakan dengan mudah. Membuang kalimpanan (kelilipan) bisa dilakukan dengan mudah bisa disembuhkan dengan hanya menggunakan telunjuk tangan yang digosok-gosokan pada kelubung mata (bahasa Banjar digiling-giling). Orang yang menyebalkan tersebut bisa saja mendramatisir keadaan itu sebagai sesuatu yang serius hingga harus dibawa ke dokter spesialis mata segala.

Pemaknaan peribahasa seperti di atas tidak hanya terikat pada satu makna saja seperti sebagai olok-olokan tadi, tetapi dalam memaknainya juga perlu melihat konteks situasi yang sedang berlangsung. Dalam kehidupan masyarakat penggunaan peribahasa ini lebih cenderung digunakan dalam hal setelah melakukan pengobatan yang maknanya cepat sekali hilangnya. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Arsyad Indradi dalam blognya khazmakata.blogspot.com mengatakan makna dari peribahasa kaya mambuang kalimpanan adalah ‘begitu diobati langsung sembuh’. Dalam konteks puisi ini maknanya tidak berkaitan dengan olok-olokan maupun pengobatan, melainkan berkaitan dengan ungkapan hilangan sagala miang gatalan diawak sebelumnya. Sehingga makna dari kaya mamabuang kalimpanan adalah mudahnya atau cepat sekali semua rasa gatal (kebiasaan dan perilaku saat remaja) itu menghilang ketika seseorang akan menikah.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, di dalam puisi Mamaraki Raja Sahari ini didalamnya terdapat penyampaian salah satu tradisi. Tradisi tersebut dinamakan batimung yang terdapat pada larik atau kalimat batimung lawan rarampah raragi urang tuha bahari. Tradisi batimung biasanya dilakukan sebelum melagsungkan pernikahan. Kata batimung berasal dari kada dasar timung yang artinya sejenis mandi uap gaya Banjar (Hapip, Abdul Djebar, 2008:120), kata tersebut dibubuhi dengan prefiks ba- yang mirip dengan prefiks ber- dalam bahasa Indoneia yang maknanya menyatakan ‘melakukan kegiatan atau pekerjaan’. Jadi, makna gramatikal dari batimung adalah melakukan kegiatan sejenis mandi uap gaya Banjar.

Dikatakan sebelumnya bahwa batimung adalah sejenis mandi uap gaya Banjar. Berdasarkan pernyataan tersebut, sepintas dalam benak kita apakah batimung itu memang sama dengan mandi uap? Atau adakah perbedaan antara batimung dengan mandi uap? dan apakah batimung hanya dimiliki oleh masyarakat Banjar saja?

Batimung merupakan salah satu tradisi masyarakat Banjar yang sampai saat ini maih dipertahankan. Bahkan tradisi tersebut wajib dilakukan bagi setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan. Fungsi dari batimung sendiri yakni membuang keringat yang ada dalam tubuh melalui pengasapan uap air yang sudah dipanaskan. Apabila dibandingkan dengan mandi uap atau sering disebut sauna memang memiliki persamaan, namun juga memiliki perbedaan. Kesamaan tersebut sama-sama berfungsi membuang keringat dalam tubuh melalui pengasapan. Dan yang membedakan adalah alat yang  dipakai, tatacara pelaksanaanya dan tujuan dari batimung dan sauna sendiri.

Batimung, membuang keringat dari badan dengan cara diasapi serta ditambahkan rempah-rempah dan ragi-ragian untuk memberi keharuman kepada badan orang yang ditimung tadi. Batimung salah satu syarat bagi calon pengantin untuk menghadapi pesta perkawinannya nanti. Tujuannya agar mempelai laki-laki dan perempuan saat acara berlangsung tidak mengeluarkan bau keringat biasa tetapi berganti menjadi bau harum yang menambah pesona. Proses batimung biasanya dilakukan pada malam hari, dilaksanakan oleh para wanita dari keluarga orang yang batimung. Dalam batimung ada tahapan-tahapan yang dilewati, pertama sebelum memasuki timungan, badan orang yang akan ditimung dibedaki dengan wadak sampai bersih dan harum sehingga segala kotoran yang melekat di tubuhnya hilang. Kedua, setelah selesai diwadak, calon pengantin disuruh duduk di atas sebuah bangku yang rendah disebut dadampar, kemudian segala pakaian yang melekat disuruh tanggalkan diganti dengan selimut tebal beberapa lapis sampai ke atas kepala kecuali muka dan hidung. Dan ketiga, diselimuti, barulah ramuan mendidih tadi diletakkan dibawah dadampar dan tutupnya dibuka sehingga uap harum bisa keluar dan membasahi tubuh orang yang batimung. Peralatan yang digunakan dalam proses batimung masih sangat tradisional (portalbanjarmasin.com).

Sedangkan mandi uap atau sauna atau bisa disebut “steam bath” adalah mandi dengan uap dalam suatu ruangan yang telah dirancang khusus, dimana sisi-sisi ruangan tersebut dapat mengeluarkan uap panas. Sauna, mandi uap kini semakin digemari. Di Indonesia tempat sauna banyak berkembang di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Sauna berkembang di kota besar karena pasarnya juga ada disini dimana sebagian besar pengguna layanan sauna adalah orang-orang yang hidup di perkotaan. Mereka dari, kalangan menengah keatas dan orang-orang yang berduit. Maklum kemudian jika sauna ini kebanyakan di akses oleh orang-orang berduit karena tarif untuk sekali sauna lumayan mahal.

Sauna lebih mengarah pada penggunaan peralatan yang modern. Di Finlandia dan beberapa negara lain seperti Jepang dan Korea proses sauna dilakukan di dalam suatu ruangan yang terbuat dari kayu yang di dalamnya dilengkapi tempat untuk berbaring atau duduk. Ruangan dipanaskan dengan membakar batu yang sekali waktu dipercikkan air di atasnya. Sauna terdiri dari ruangan dan pemanas. Ruangan terbuat dari kayu cedar, redwood atau hemlock dan dilengkapi pemanas dari batu yang dibakar. Dalam perkembangannya sekarang  banyak digunakan pemanas elektrik  dan  pemanas inframerah (www.kembangbulan.com). Jadi, batimung lebih mengarah kepada tradisi masyarakat Banjar yang masih dilakukan secara tradisional, tetap terjaganya nilai-nilai suatu kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang akan melekat erat di masyarakat. Apa sebabnya, karena acara batimung dilaksanakan pada malam hari, oleh para wanita dari keluarga orang batimung. Sedangkan sauna dapat dilakukan kapanpun sebagai bentuk perawatan kesehatan. Dalam sauna tidak ada nilai kebersamaan karena kita mendapat pelayanan dengan membayar.

Batimung lawan rarampah raragi urang tuha bahari. Pada kalimat tersebut ada pernyataan yang menyatakan batimung menggunakan rempah-rempah dan ragi-ragian (batimung lawan rarampah raragi). Mengapa dalam batimung menggunakan rarampah dan rararagi?

Secara morfologi, kata rarampah dan raragi termasuk dalam kategori reduplikasi (kata ulang). Kata rarampah dan raragi termasuk dalam variasi bahasa Banjar Hulu, reduplikasi bahasa Banjar Hulu pengulangannya pada semua suku pertama. Rarampah berasal dari kata rampah yang berarti rempah, pengulangan pada suku pertamanya yaitu ra-. Begitu pula dengan kata raragi yang berasal dari kata ragi, pengulangan pada suku pertamanya juga ra-. Makna dari pengulangan ra- ini menyatakan jamak. Jadi, makna rarampah berarti rempah-rempah atau banyak rempah atau macam-macam rempah. Begitu juga dengan raragi, kata raragi berarti ragi-ragian atau banyak ragi atau bermacam-macam ragi (Hapip, Abdul Djebar, 2008:xiv).

Rarampah berarti rempah-rempah (Hapip, Abdul Djebar, 2008:149), contoh dari rempah-rempah yaitu seperti lada, cengkeh, kemiri, ketumbar, jintan, pala, kayu manis, kapulaga, dll. Sedangkan raragi berarti ragi-ragian atau bumbu-bumbu (Hapip, Abdul Djebar, 2008:148), contoh dari ragi-ragian atau bumbu-bumbu seperti jahe, kunyit, bawang, daun jeruk, dll. Rempah-rempah dan bumbu-bumbu ini biasanya digunakan sebagai penyedap masakan.

Dalam tradisi Banjar bahan-bahan tambahan baik rarampah dan raragi yang digunakan untuk batimung biasanya terdiri dari daun pudak/pandan wangi, tamu giring, limau purut, kulit bawang merah, kayu manis, menyan, daun sop, pucuk ganti, mang soe sebangsa akar, bunga akar tersebut direbus sehingga uap itulah yang akan memberikan bau harum. Semua bahan tersebut dibuat dalam ramuan kecil-kecil kemudian dimasukkan kedalam kuantan lalu direbus sampai mendidih, tutupnya dijaga agar jangan terbuka sehingga asapnya keluar sebelum diperlukan. Penggunaan rarampah dan raragi bertujuan memberikan keharuman pada tubuh orang yang ditimung.

Ma ambun ma uwap, ma- dalam bahasa Banjar merupakan sebuah awalan yang biasanya disambungkan dengan kata benda sehingga membentuk kata kerja yang memiliki makna. Ma- dalam konteks ini bermakna hasilnya;menjadi. Secara keseluruhan pada larik ma ma ambun ma uwap dalam bahasa Indonesia berarti  menjadi embun menjadi uap, maksudnya masih berkaitan dengan larik sebelumnya tentang batimung, karena batimung menggunakan uap dari air yang sudah dipanaskan tadi. Hasil dari uap air yang dipanaskan tadi mengakibatkan keringat yang keluar akan sangat banyak yang dinyatakan dengan ungkapan tapaluh le’er dalam kalimat tapaluh le’er marasai urutannya. Dalam konteks ini makna yang terkandung menyatakan bahwa hasil dari mandi uap tadi maka peluh atau keringat yang keluar dari pori-pori tubuh akan sangat banyak sehingga badan akan menjadi terasa segar seperti orang yang selesai dipijat. Keseluruhan tahapan-tahapan dalam tradisi batimung akan dilakukan pada besok sore hari. Sebagaimana kalimat isuk ari kamarian babarasih awak yang dalam bahasa Indonesia berarti besok sore hari berbersih-bersih badan. Inti dari rangkaian batimung tadi adalah untuk membersihkan diri, sehingga saat menjadi pengantin, badannya menjadi bersih, harum, dan segar. Serta merupakan bentuk persiapan diri bagi suami istri yang baru menikah baik saat masih di pelaminan maupun saat-saat ‘indah’ berdua sebagaimana  kalimat mamaraki raja sahari yang artinya mendekati raja sehari.

Jadi, Secara keseluruhan makna dari puisi mamaraki raja sahari menyatakan makna tentang seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Ada tradisi masyarakat Banjar yang harus dijalankan khususnya bagi calon pengantin perempuan sebelum ia menjadi pengantin dan mendekati suaminya.


Sumber:
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ganie, Tajuddin Noor. 2007. Kamus Peribahasa Banjar. Banjarmasin: Rumah Pustaka Folklor Banjar
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Edisi keenam. Banjarbaru: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq.
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Tata Bahasa Banjar. Banjarbaru: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq.
Husaini, Abdurrahman El. 2011. Do’a Banyu Mata Kumpulan Puisi Bahasa Banjar. Banjarmasin: Tahura Media.
Ramlan, 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar