KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
MAKNA DARI PUISI
MAMARAKI
RAJA SAHARI
KARYA
ABDURRAHMAN EL HUSAINI
Mamaraki
Raja Sahari
Batimpungas lawan ambun baisukan
Pipi kakambangan habang anum
Asa limbah diambung
Hilangan sagala miang gatalan diawak
Nangkaya mambuang kalimpanan
Batimung lawan rarampah raragi urang tuha bahari
Ma ambun ma uwap
Tapaluh le’er marasai urutannya
Isuk ari kamarian babarasih awak
Mamaraki raja sahari
Smun 1
martapura, 12/04/05
Puisi Mamaraki Raja Sahari merupakan puisi
berbahasa Banjar yang dikarang oleh Abdurrahman El Husaini. Puisi tersebut
termuat dalam antologi puisinya yang berjudul Doa Banyu Mata Kumpulan Puisi Bahasa Banjar yang terdapat pada
halaman 13. Seluruh puisi yang terdapat dalam antologi tersebut merupakan
karangan Abdurrahman El Husaini sendiri, yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh
Tahura Media Banjarmasin.
Puisi Mamaraki Raja Sahari menceritakan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan pada masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan. Di dalam puisi ini juga, Abdurrahman El Husaini memuat tentang
bagaimana tradisi yang harus dijalankan oleh calon pengantin, khususnya bagi
calon pengantin wanita dalam mempersiapkan dirinya sebelum melangsungkan
pernikahan. Salah satu tradisi yang disebutkan yaitu tradisi Batimung.
Kata-kata yang
tertulis dalam puisi ini sarat dengan simbol-simbol yang memiliki makna, di
balik simbol tersebut ada makna yang tersirat yang ingin disampaikan oleh
pengarangnya. Untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai hal-hal yang
menarik dalam puisi Mamaraki Raja Sahari ini, berikut di bawah ini dipaparkan hasil
analisis kemungkinan-kemungkinan makna dari puisi Mamaraki Raja Sahari.
Dari segi judul
saja puisi ini sudah terdapat hal yang menarik yang bisa dimaknai yaitu penggunaan
ungkapan Raja Sahari dalam kalimat Mamaraki Raja Sahari. Apabila diartikan
ke dalam bahasa Indonesia Raja Sahari
berarti Raja Sehari. Baik Raja Sahari maupun Raja Sehari apabila dimaknai secara leksikal berarti jabatan
seorang raja/pemimpin laki-laki dalam kerajaan yang hanya berlangsung selama
satu hari saja. Namun, dalam konteks puisi ini maknanya tidak demikian, raja
yang dimaksudkan dalam puisi ini bukanlah makna raja yang sebenarnya yang
berarti seorang pemimpin. Melainkan bermakna pengantin/mempelai
(kartikahidayati.blogspot.com), sesuai dengan konteks cerita dalam puisi
tersebut yang menceritakan perihal pernikahan.
Mengapa
penyebutan pengantin dalam puisi ini menggunakan ungkapan Raja Sahari? mengapa tidak langsung disebutkan pengantin saja?
Sekiranya penggunaan ungkapan Raja Sahari
ini dibentuk secara metaforis, yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah
satu ciri makna kata raja dengan yang ada pada ungkapan Raja Sahari (Chaer, 2009:61). Salah satu dari ciri raja yang
dipersamakan atau diperbandingkan tersebut adalah kebiasaan-kebiasaan yang
identik dengan seorang raja seperti duduk di singgasana, memakai pakaian yang
indah, dilayani atau tidak repot mengurus dirinya karena orang lain yang
mengerjakan. Begitu pula dengan pengantin, ia duduk di pelaminan yang diibaratkan
sebagai singgasana, menggunakan pakaian yang indah. Dalam pernikahan masyarakat
di kota Cilacap, pengantin yang dianggap sebagai raja
sehari maknanya sebagai pengharapan kelak dapat memimpin dan membina keluarga dengan
baik (muhammadnaji.blogspot.com). Penggunaan
ungkapan Raja Sahari memberikan kesan
dan efek keindahan ketika membaca dan memaknai puisi tersebut. Akan sangat
terasa biasa maknanya seandainya judul puisi tersebut berbunyi Mamaraki Pangantin.
Pada kalimat Batimpungas lawan ambun baisukan, terdapat
hal yang menarik yang diungkapkan oleh kalimat tersebut, khususnya pada bagian
kata batimpungas dan ambun. Apakah memang benar dalam hal batimpungas yang digunakan adalah ambun? Apa makna yang tersirat dari
keterkaitan antara kedua kata tersebut?
Kata batimpungas berasal dari kata timpungas.
Timpungas berarti ‘cuci muka’ (Hapip, Abdul Djebar, 2008:189). Kata batimpungas di depannya terdapat prefiks
ba-, makna dari prefiks ba- tergantung pada konteks kata dasar yang
mengikutinya. Kata dasar dari batimpungas
yaitu timpungas dan merupakan bentuk kata kerja. Untuk prefiks ba- pada
kata batimpungas maknanya ‘melakukan
suatu perbuatan atau pekerjaan dengan sengaja atau pekerjaan pada diri sendiri
(Hapip, Abdul Djebar, 2008:38). Prefiks ba- dalam bahasa Banjar mirip dengan
prefiks ber- dalam bahasa Indonesia, yaitu menyatakan makna ‘suatu perbuatan
aktif’ ialah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang menduduki fungsi subyek.
Makna ini pada umumnya terdapat pada
kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa pokok kata dan kata kerja
(Ramlan, 1987:114). Jadi, makna dari kata batimpungas
artinya bercuci muka atau melakukan pekerjaan cuci muka. Mencuci
muka pada dasarnya membersihkan wajah dari kotoran, debu, maupun menyegarkan
wajah yang berkerut karena bangun tidur atau amarah/emosi.
Kata kedua dari
kalimat batimpungas lawan ambun baisukan
yang menarik untuk ditelisik maknanya adalah kata ambun. Ambun dalam bahasa
Indonesia berarti embun. Dalam kamus
umum bahasa Indonesia, embun
merupakan titik-titik air yang jatuh dari
udara (pada malam hari). Secara umum, embun
adalah nama yang diberikan untuk bintik-bintik air yang sering dijumpai
menempel pada daun-daunan, dan rumput.
Pada dasarnya
keterkaitan batimpungas lawan ambun
baisukan atau mencuci muka dengan
embun pagi, apabila dimaknai secara leksikal akan menghasilkan makna yang
kurang logis. Hampir tidak pernah ditemukan seseorang mencuci mukanya
menggunakan embun secara langsung, karena yang kita ketahui embun hanya sebatas
uap air. Sedangkan, perihal mencuci biasanya selalu menggunakan air sebagai
media pembersihannya. Bisa dimaknai secara logis apabila penggunaan embun tidak
dilakukan secara langsung, misalnya saja dengan mengumpulkan atau menampung
embun tersebut hingga terkumpul menjadi air dan bisa digunakan untuk mencuci
muka. Pemilihan kata batimpungas dan ambun dalam konteks ini memiliki makna
yang tersirat dan keterpaduan. Pemilihan kata batimpungas dan ambun
sama-sama melambangkan tentang kesejukan, kenyamanan. Tentunya setelah mencuci
muka akan merasakan sejuk pada wajah, begitu juga dengan embun. Baisukan dalam bahasa Indonesianya
berarti pagi, pagi merupakan waktu mulai matahari terbit sampai kira-kira
pukul sembilan atau sepuluh. Kata baisukan
pada puisi ini dimaknai sebagai simbol awal manusia untuk memulai harinya.
Jadi, pemaknaan terhadap kalimat atau larik puisi yang berbunyi batimpungas lawan ambun baisukan dalam
konteks ini menyampaikan tentang kesejukan atau perasaan sejuk dan kebahagiaan
yang diperoleh untuk memulai hari yang baru. Kebahagian yang dimaksud
dikarenakan perihal akan segera menikah.
Hal menarik
berikutnya adalah keterkaitan antara larik batimpungas
lawan ambun baisukan tadi dengan larik berikutnya yang berbunyi pipi kakambangan habang anum. Larik yang
berbunyi pipi kakambangan habang anum
muncul sebagai akibat dari larik sebelumnya yang maknanya menyatakan rasa
bahagia yang sedang dirasakan. Satu kata yang juga menarik untuk dimaknai dari
larik tersebut khususnya penggunaan kata Kakambangan.
Kata kakambangan kata dasarnya berbentuk kata
benda yaitu kambang, kambang berarti kembang atau bunga
(Hapip, Abdul Djebar, 2008:78). Secara morfologi bentuk dari kata kakambangan ini berupa bentuk kata ulang
(reduplikasi). Pengulangannya terbentuk dari proses afiksasi, pengulangan kata
tersebut berdasarkan pada suku kata pertama dari bentuk dasarnya (Hapip, Abdul
Djebar, 2008:xviii) yaitu ka- yang disertai dengan akhiran –an seperti berikut
ka-kambang-an. Makna dari reduplikasi
kakambangan menyatakan tentang
‘menyerupai kembang/bunga’. Jadi, apabila dikaitkan dengan konteks kalimat pipi kakambangan habang anum, kakambangan
yang dimaksud bukanlah menyatakan bentuk pipi menyerupai bunga, melainkan
sebagai sebuah simbol yang menyatakan keindahan, karena bunga identik dengan
keindahan. Begitupun dengan makna dari kata habang
anum yang berarti merah muda yang
menyimbolkan tentang cinta, kelembutan, ataupun perasaan yang indah dan
bahagia. Jadi, makna dari pipi
kakambangan habang anum ini pipinya merona merah muda yang diakibatkan rasa
bahagia yang dirasakannya. Diwajahnya terpancar keindahan yang diibaratkan
bagai bunga yang merona. Perasaan bahagia tersebut diibaratkannya pula seperti
perasaan seseorang yang setelah memperoleh pujian dari orang lain sebagaimana
larik asa limbah diambung (asa berarti rasa;perasaan;serasa, limbah berarti setelah;sesudah, diambung berarti dipuji).
Terdapat
keterkaitan antara makna yang diungkapkan dalam kalimat hilangan sagala miang gatalan diawak dengan kata batimpungas. Namun sayangnya keterkaitan
tersebut secara kebahasaan tidaklah logis. Hilangan
sagala miang gatalan diawak apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia
berarti ‘hilang semua gatal diseluruh badan’. Dikatakan tidak logis karena
secara logika saja apakah mungkin dengan hanya batimpungas atau mencuci muka maka semua gatal di badan hilang?
Sedangkan mencuci muka tersebut hanya terfokus pada bagian wajah atau bagian
depan kepala saja tidak pada seluruh tubuh.
Kata yang lebih
menonjol dari kalimat tersebut adalah kata miang.
Menarik memang, karena kalau diartikan berdasarkan kamus bahasa Banjar makna
dari miang itu sendiri adalah bulu (pada bambu, daun-daun, tsb); rasa gatal (Hapip, Abdul Djebar, 2008:120)
atau rasa gatal yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak tampak, seperti
disebabkan oleh hama atau sejenisnya. Sedangkan pada masa sekarang kata miang telah bergeser pemaknaan dan
maksudnya. Ungkapan dengan kata miang
ditujukan kepada seseorang yang sedang merasakan libido atau hasrat nafsu
seksualnya meningkat (Inggris; horny). Misalnya "ikam nih miang banar
pinanya." Maksudnya "kamu tampaknya sedang horny."
(kompasiana.com). Dalam konteks puisi ini karena berhubungan dengan seseorang
yang akan segera menikah, maka ungkapan hilangan
sagala miang gatalan diawak maknanya menyatakan bahwa masa-masa dan segala
macam perilaku seperti saat-saat masih sendiri atau remaja akan segera hilang,
tidak akan seperti dahulu lagi karena akan segera melangkah ke kehidupan yang baru
yaitu dengan menikah. Miang gatalan
disimbolkan sebagai perilaku saat masih sendiri atau remaja.
Dalam puisi ini
juga pada larik kelima diselipkan sebuah peribahasa Banjar yang tidaklah asing
di telinga kita, yang berbunyi Nangkaya
mambuang kalimpanan. Nangkaya
dalam bahasa Indonesia berarti seperti;sama
halnya dengan. Kata mambuang
berarti membuang yang bermakna melepaskan;menghilangkan. Dan kata kalimpanan berarti kelilipan yang maksudnya ada
sesuatu seperti debu yang masuk ke dalam mata (Hapip, Abdul Djebar, 2008:77)
Secara keseluruhan nangkaya mambuang kalimpanan dalam bahasa Indonesia berarti
seperti menghilangkan kelilipan atau
suatu benda yang masuk ke dalam mata.
Dalam bukunya
yang berjudul Kamus Peribahasa Banjar,
2007. Tajuddin Noor Ganie mengatakan bahwa makna dari peribahasa kaya mambuang kalimpanan adalah sebagai
olok-olokan dalam hal pekerjaan yang begitu mudah dikerjakan tidak
dikerjakannya dengan mudah. Berdasarkan hasil diskusi dengan beliau di akun
facebook, mengapa peribahasa tersebut dinyatakan sebagai olok-olokan disebabkan
oleh konteks peribahasa itu adalah
ada seseorang yang sangat menyebalkan. Pekerjaan yang begitu mudah tidak
dikerjakannya dengan mudah. Sebaliknya ia mendramatisasi keadaan dengan
mengeluh ke sana ke mari. Lalu ada orang lain yang ganti mengerjakan pekerjaan
itu dan ternyata memang bisa dikerjakan dengan mudah. Membuang kalimpanan (kelilipan) bisa dilakukan
dengan mudah bisa disembuhkan dengan hanya menggunakan telunjuk tangan yang
digosok-gosokan pada kelubung mata (bahasa Banjar digiling-giling). Orang yang
menyebalkan tersebut bisa saja mendramatisir keadaan itu sebagai sesuatu yang
serius hingga harus dibawa ke dokter spesialis mata segala.
Pemaknaan
peribahasa seperti di atas tidak hanya terikat pada satu makna saja seperti
sebagai olok-olokan tadi, tetapi dalam memaknainya juga perlu melihat konteks
situasi yang sedang berlangsung. Dalam kehidupan masyarakat penggunaan
peribahasa ini lebih cenderung digunakan dalam hal setelah melakukan pengobatan
yang maknanya cepat sekali hilangnya. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan
oleh Arsyad Indradi dalam blognya khazmakata.blogspot.com mengatakan makna dari
peribahasa kaya mambuang kalimpanan
adalah ‘begitu diobati langsung sembuh’. Dalam konteks puisi ini maknanya tidak
berkaitan dengan olok-olokan maupun pengobatan, melainkan berkaitan dengan
ungkapan hilangan sagala miang gatalan
diawak sebelumnya. Sehingga makna dari kaya mamabuang kalimpanan adalah
mudahnya atau cepat sekali semua rasa gatal (kebiasaan dan perilaku saat
remaja) itu menghilang ketika seseorang akan menikah.
Seperti yang
sudah disampaikan sebelumnya, di dalam puisi Mamaraki Raja Sahari ini didalamnya terdapat penyampaian salah satu
tradisi. Tradisi tersebut dinamakan batimung
yang terdapat pada larik atau kalimat batimung
lawan rarampah raragi urang tuha bahari. Tradisi batimung biasanya
dilakukan sebelum melagsungkan pernikahan. Kata batimung berasal dari kada dasar timung yang artinya sejenis mandi uap gaya Banjar (Hapip, Abdul
Djebar, 2008:120), kata tersebut dibubuhi dengan prefiks ba- yang mirip dengan
prefiks ber- dalam bahasa Indoneia yang maknanya menyatakan ‘melakukan kegiatan
atau pekerjaan’. Jadi, makna gramatikal dari batimung adalah melakukan kegiatan sejenis mandi uap gaya Banjar.
Dikatakan
sebelumnya bahwa batimung adalah
sejenis mandi uap gaya Banjar. Berdasarkan pernyataan tersebut, sepintas dalam
benak kita apakah batimung itu memang sama dengan mandi uap? Atau adakah perbedaan
antara batimung dengan mandi uap? dan apakah batimung hanya dimiliki oleh
masyarakat Banjar saja?
Batimung
merupakan salah satu tradisi masyarakat Banjar yang sampai saat ini maih
dipertahankan. Bahkan tradisi tersebut wajib dilakukan bagi setiap orang yang
akan melangsungkan pernikahan. Fungsi dari batimung sendiri yakni membuang
keringat yang ada dalam tubuh melalui pengasapan uap air yang sudah dipanaskan.
Apabila dibandingkan dengan mandi uap atau sering disebut sauna memang memiliki
persamaan, namun juga memiliki perbedaan. Kesamaan tersebut sama-sama berfungsi
membuang keringat dalam tubuh melalui pengasapan. Dan yang membedakan adalah
alat yang dipakai, tatacara
pelaksanaanya dan tujuan dari batimung dan sauna sendiri.
Batimung, membuang keringat dari badan dengan
cara diasapi serta ditambahkan rempah-rempah dan ragi-ragian untuk memberi
keharuman kepada badan orang yang ditimung tadi. Batimung salah satu syarat
bagi calon pengantin untuk menghadapi pesta perkawinannya nanti. Tujuannya agar
mempelai laki-laki dan perempuan saat acara berlangsung tidak mengeluarkan bau
keringat biasa tetapi berganti menjadi bau harum yang menambah pesona. Proses
batimung biasanya dilakukan pada malam hari, dilaksanakan oleh para wanita dari
keluarga orang yang batimung. Dalam batimung ada tahapan-tahapan yang dilewati,
pertama sebelum memasuki timungan, badan orang yang akan ditimung dibedaki
dengan wadak sampai bersih dan harum sehingga segala kotoran yang melekat di
tubuhnya hilang. Kedua, setelah selesai diwadak, calon pengantin disuruh duduk
di atas sebuah bangku yang rendah disebut dadampar, kemudian segala pakaian
yang melekat disuruh tanggalkan diganti dengan selimut tebal beberapa lapis
sampai ke atas kepala kecuali muka dan hidung. Dan ketiga, diselimuti, barulah
ramuan mendidih tadi diletakkan dibawah dadampar dan tutupnya dibuka sehingga
uap harum bisa keluar dan membasahi tubuh orang yang batimung. Peralatan yang
digunakan dalam proses batimung masih sangat tradisional (portalbanjarmasin.com).
Sedangkan mandi
uap atau sauna atau bisa disebut “steam bath” adalah mandi dengan uap dalam
suatu ruangan yang telah dirancang khusus, dimana sisi-sisi ruangan tersebut
dapat mengeluarkan uap panas. Sauna, mandi uap kini semakin digemari. Di
Indonesia tempat sauna banyak berkembang di kota-kota besar seperti di Jakarta,
Bandung, dan Denpasar. Sauna berkembang di kota besar karena pasarnya juga ada
disini dimana sebagian besar pengguna layanan sauna adalah orang-orang yang
hidup di perkotaan. Mereka dari, kalangan menengah keatas dan orang-orang yang
berduit. Maklum kemudian jika sauna ini kebanyakan di akses oleh orang-orang
berduit karena tarif untuk sekali sauna lumayan mahal.
Sauna lebih
mengarah pada penggunaan peralatan yang modern. Di Finlandia dan beberapa
negara lain seperti Jepang dan Korea proses sauna dilakukan di dalam
suatu ruangan yang terbuat dari kayu yang di dalamnya dilengkapi tempat untuk
berbaring atau duduk. Ruangan dipanaskan dengan membakar batu yang sekali waktu
dipercikkan air di atasnya. Sauna terdiri dari ruangan dan pemanas. Ruangan terbuat dari kayu cedar,
redwood atau hemlock dan dilengkapi pemanas dari batu yang dibakar. Dalam
perkembangannya sekarang banyak digunakan pemanas elektrik
dan pemanas inframerah (www.kembangbulan.com). Jadi, batimung lebih mengarah
kepada tradisi masyarakat Banjar yang masih dilakukan secara tradisional, tetap
terjaganya nilai-nilai suatu kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang akan
melekat erat di masyarakat. Apa sebabnya, karena acara batimung dilaksanakan
pada malam hari, oleh para wanita dari keluarga orang batimung. Sedangkan sauna
dapat dilakukan kapanpun sebagai bentuk perawatan kesehatan. Dalam sauna tidak
ada nilai kebersamaan karena kita mendapat pelayanan dengan membayar.
Batimung lawan rarampah raragi urang tuha bahari. Pada kalimat
tersebut ada pernyataan yang menyatakan batimung menggunakan rempah-rempah dan
ragi-ragian (batimung lawan rarampah
raragi). Mengapa dalam batimung
menggunakan rarampah dan rararagi?
Secara
morfologi, kata rarampah dan raragi termasuk dalam kategori
reduplikasi (kata ulang). Kata rarampah
dan raragi termasuk dalam variasi
bahasa Banjar Hulu, reduplikasi bahasa Banjar Hulu pengulangannya pada semua suku
pertama. Rarampah berasal dari kata
rampah yang berarti rempah, pengulangan pada suku pertamanya yaitu ra-. Begitu
pula dengan kata raragi yang berasal
dari kata ragi, pengulangan pada suku pertamanya juga ra-. Makna dari
pengulangan ra- ini menyatakan jamak. Jadi, makna rarampah berarti rempah-rempah atau banyak rempah atau macam-macam
rempah. Begitu juga dengan raragi,
kata raragi berarti ragi-ragian atau banyak ragi atau bermacam-macam ragi (Hapip,
Abdul Djebar, 2008:xiv).
Rarampah berarti rempah-rempah (Hapip, Abdul
Djebar, 2008:149), contoh dari rempah-rempah yaitu seperti lada, cengkeh,
kemiri, ketumbar, jintan, pala, kayu manis, kapulaga, dll. Sedangkan raragi berarti ragi-ragian atau
bumbu-bumbu (Hapip, Abdul Djebar, 2008:148), contoh dari ragi-ragian atau
bumbu-bumbu seperti jahe, kunyit, bawang, daun jeruk, dll. Rempah-rempah dan
bumbu-bumbu ini biasanya digunakan sebagai penyedap masakan.
Dalam tradisi
Banjar bahan-bahan tambahan baik rarampah
dan raragi yang digunakan untuk
batimung biasanya terdiri dari daun pudak/pandan wangi, tamu giring, limau
purut, kulit bawang merah, kayu manis, menyan, daun sop, pucuk ganti, mang soe
sebangsa akar, bunga akar tersebut direbus sehingga uap itulah yang akan
memberikan bau harum. Semua bahan tersebut dibuat dalam ramuan kecil-kecil
kemudian dimasukkan kedalam kuantan lalu direbus sampai mendidih, tutupnya
dijaga agar jangan terbuka sehingga asapnya keluar sebelum diperlukan.
Penggunaan rarampah dan raragi bertujuan memberikan keharuman pada
tubuh orang yang ditimung.
Ma ambun ma uwap, ma- dalam bahasa Banjar merupakan sebuah awalan yang biasanya
disambungkan dengan kata benda sehingga membentuk kata kerja yang memiliki
makna. Ma- dalam konteks ini bermakna
hasilnya;menjadi. Secara keseluruhan
pada larik ma ma ambun ma uwap dalam
bahasa Indonesia berarti menjadi embun menjadi uap, maksudnya
masih berkaitan dengan larik sebelumnya tentang batimung, karena batimung menggunakan
uap dari air yang sudah dipanaskan tadi. Hasil dari uap air yang dipanaskan
tadi mengakibatkan keringat yang keluar akan sangat banyak yang dinyatakan
dengan ungkapan tapaluh le’er dalam
kalimat tapaluh le’er marasai urutannya.
Dalam konteks ini makna yang terkandung menyatakan bahwa hasil dari mandi uap
tadi maka peluh atau keringat yang keluar dari pori-pori tubuh akan sangat
banyak sehingga badan akan menjadi terasa segar seperti orang yang selesai
dipijat. Keseluruhan tahapan-tahapan dalam tradisi batimung akan dilakukan pada
besok sore hari. Sebagaimana kalimat isuk
ari kamarian babarasih awak yang dalam bahasa Indonesia berarti besok sore hari berbersih-bersih badan.
Inti dari rangkaian batimung tadi
adalah untuk membersihkan diri, sehingga saat menjadi pengantin, badannya menjadi
bersih, harum, dan segar. Serta merupakan bentuk persiapan diri bagi suami
istri yang baru menikah baik saat masih di pelaminan maupun saat-saat ‘indah’
berdua sebagaimana kalimat mamaraki raja sahari yang artinya
mendekati raja sehari.
Jadi, Secara
keseluruhan makna dari puisi mamaraki
raja sahari menyatakan makna tentang seseorang yang akan melangsungkan
pernikahan. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Ada tradisi masyarakat Banjar
yang harus dijalankan khususnya bagi calon pengantin perempuan sebelum ia
menjadi pengantin dan mendekati suaminya.
Sumber:
Chaer, Abdul.
2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul.
2009. Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ganie, Tajuddin
Noor. 2007. Kamus Peribahasa Banjar. Banjarmasin:
Rumah Pustaka Folklor Banjar
Hapip, Abdul
Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia.
Edisi keenam. Banjarbaru: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq.
Hapip, Abdul
Djebar. 2008. Tata Bahasa Banjar.
Banjarbaru: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq.
Husaini,
Abdurrahman El. 2011. Do’a Banyu Mata Kumpulan
Puisi Bahasa Banjar. Banjarmasin: Tahura Media.
Ramlan, 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:
CV. Karyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar